Bersyukur
Bersyukur, menerima, ikhlas lillahi ta'ala dalam menjalankan semua takdir yang telah Allah subhanahu wa ta'ala berikan kepada kita.
Secara tiba-tiba aku mempertanyakan diriku sendiri, kemarin. Apakah aku benar-benar telah bersyukur dalam menerima semua takdir yang telah Allah berikan?
Pertanyaan ini muncul setelah aku melakukan wawancara dengan seorang guru di SMA-ku untuk keperluan penelitian.
Beliau (yang semoga Allah selalu menjaganya) berkata:
"Yang dari tempat luar biasa, kemudian menjadi orang luar biasa itu biasa. Tapi kalau dari tempat biasa, kemudian dididik dan keluar menjadi orang luar biasa itu baru luar biasa." - Bapak Wijayanto Hadi.
Seketika hati kecilku merasa tertampar.
Sejujurnya, pada awalnya tidak mudah untuk menerima bahwa aku tidak dapat bersekolah di sekolah favorit bersama teman-teman dekat semasa SMP-ku. Meskipun ini memang dari kesalahanku sendiri, tidak lebih giat dalam belajar, dan aku pun menyadari bahwa aku adalah tipe orang yang memerlukan usaha lebih (dalam belajar) untuk menjadi pintar, dan bukan orang yang terlahir untuk menjadi pintar.
Merasa minder? Ya itu pasti.
Namun pada saat itu, aku berusaha untuk tidak terlalu minder, aku berusaha sangat keras untuk lebih bersyukur atas apa yang telah Allah takdirkan.
Tahun demi tahun berlalu hingga aku lulus SMA, dan aku diterima melalui jalur undangan di salah satu perguruan tinggi di ibukota Jawa Tengah; Universitas Diponegoro. Bertahun-tahun masa perkuliahan berlalu, hingga akhirnya lulus menyandang S-1. Kemudian atas izin Allah, Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas favorit anak bangsa di Kota Pelajar, Yogyakarta.
Dari semua perjalanan hidupku, terkadang aku masih merasa minder dengan dimana dulu aku pernah bersekolah semasa SMA, minder dengan teman-temanku yang memiliki track record bersekolah di sekolah favorit dari dulu hingga sekarang. Namun, setelah kusadari, perasaan minder itu adalah perasaan yang salah yang hinggap di hati setiap insan manusia.
Kenapa harus minder? Padahal kita adalah anak bangsa yang memiliki hak dalam pendidikan, dimanapun tempatnya, bukan?
Padahal SMA itu pula yang mengantarkan aku untuk masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan?
Belum tentu aku bisa masuk jalur undangan kalau aku bersekolah di SMA favorit. Allah Maha Mengetahui.
Kenapa minder? Kenapa tidak bersyukur? Apa yang dicari, sih?
Padahal SMA itu pula yang mengantarkan aku untuk masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan?
Belum tentu aku bisa masuk jalur undangan kalau aku bersekolah di SMA favorit. Allah Maha Mengetahui.
Kenapa minder? Kenapa tidak bersyukur? Apa yang dicari, sih?
Toh, sebenarnya aku juga tidak bersekolah di tempat yang buruk-buruk amat. Hatiku saja yang hanya selalu melihat keatas padahal ini hanya perkara dunia. Dunia, yang Allah pun memandang dunia tidak lebih indah daripada bangkai. Na'udzubillahi min dzalik.
فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian.”
(HR. Muslim 7607) [1].
Bertahun-tahun berlalu, kini tiba-tiba kembali mempertanyakan diri sendiri, apakah sudah benar-benar bersyukur atas semua takdir dan nikmat yang telah Allah berikan. Seakan-akan Allah ingin mengujiku, sudahkah aku benar-benar menjiwai makna bersyukur, bersyukur yang tidak hanya diucap namun bersyukur dengan segenap hati dan sikapku dalam kehidupan sehari-hari?
Kemudian pertanyaan itu terjawab, dan hatiku kembali tenang.
Aku bersyukur, pernah bersekolah di sekolah favorit, yang dengannya aku banyak belajar dan dapat mengembangkan diri menjadi orang baik di lingkungan yang baik.
Aku bersyukur, pernah diberi kesempatan bersekolah di sekolah yang biasa saja, sehingga aku bisa lebih mendalami dan memahami makna bersyukur dan bersabar.
Ada salah satu guru lagi yang -atas izin Allah- menyempurnakan bahan untukku merenung.
Beliau berkata:
"Justru dengan saya pernah mengajar di sekolah macam-macam, dari yang favorit hingga yang tidak, saya banyak bersyukur dan belajar. Buat apa pintar kalau jemawa." - Ibu Retno Setyaningrum, yang semoga Allah selalu menjaganya.
Seakan-akan menamparku lagi, menyadarkanku lagi, bahwa memang benar, buat apa pintar kalau jumawa? Tidak ada yang menjamin, bisa jadi ketika aku bersekolah di sekolah favorit dari dulu hingga sekarang, menjadikanku orang yang jumawa? Padahal jumawa, sombong adalah sifat yang dibenci Allah, bukan?
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya:
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (angkuh)." (QS. Luqman: 18) [2]
Allah Maha Sempurna. Allah lebih mengetahui apa yang kita butuhkan daripada kita sendiri. Allah mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya dibandingkan hamba-Nya sendiri. Mahasuci Allah.
Setelah kian banyak yang terjadi dalam hidupku, yang aku pun sadar permasalahan hidupku tidak ada apa-apanya dibandingkan ulama terdahulu, namun dari yang sedikit ini aku belajar, banyak belajar, bahwa bersabar dan bersyukur adalah kunci ketenangan dalam hidup. Menatap ke atas untuk urusan akhirat, menatap ke bawah untuk perkara dunia.
Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimush shalihaat.
Segala puji Allah, dengan segala nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
---
Komentar
Posting Komentar